Bedah Buku Injil Maria Magdalena Sebagai Trigger Agar Jemaat Kritis Memahi Injil

BALI.KOMINFO.CO.ID #
Jakarta - Indonesia ||
Yayasan komunikasi Indonesia (YKI) dan Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (PEWARNA) menggelar bedah buku dengan judul Injil Maria Magdalena Yudas Iskariot dan Kemesiasan Yesus di gelar di sekretariat YKI Matraman 10 a Jakarta Timur Rabu 23 April 2025. 

Buku yang ditulis Padmono SK jurnalis senior dan mantan sekretaris jendral Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) dan pernah menjadi anggota MPR RI dari utusan golongan era Orde Baru ini menghadirkan dua narasumber yang membedah buku ini antaranya Pendeta Gomar Gultom mantan Ketua Umum Persekutuan Gereja Gereja di Indonesia (PGI) dan saat ini duduk di majelis pertimbangan PGI dan Pendeta Silvana Apituley Komisioner perlindungan Perempuan Indonesia. 

Padmono SK mencoba menjelaskan tentang ikwal buku ini kenapa di beri judul Injil karena disitu mewartakan kabar baik tentang keselamatan itu sendiri. Kalau kemudian memilih menulis dalam bentuk novel karena di dalamnya adalah sebuah pemikiran imajiner diirinya dalam memahami Injil yang ada terutama sosok Maria Magdalena. 

“Tulisan buku saya ini sekalipun imajiner tetapi saya lakukan riset dari berbagai tulisan dan tentu Alkitab itu sendiri artinya bentuk fiksi tetapi bukan fiktif”, tukas Padmono mengawali pemaparan bukunya. 

Untuk itu buku Injil Maria Magdalena, Yusah Iskariot dan Kemesiaan Yesus ini diharapkan menjadi trigger agar jemaat kritis dalam membaca dan memahami Injil.  

Sedangkan Pendeta Silvana memberikan catatan kritisnya terkait Cover buku yang digambrakan Maria menunduk yang tentu sangat kontradiksi dengan isi  buku sendiri yang terlihat Maria Magdalena itu sebagai perempuan yang kuat dan aktif bukan Maria yang penurut dan ini bisa memilih cover dengan sosok Maria yang matanya menatap ke depan bahkan mendongak ke atas. 

Namun demikian judul sendiri sangat menarik sehingga membuat orang pengen membacanya. Silvana juga mengapresiasi terkait tulisan dalam buku ini di mana sosok Maria Magdelena sebagai figur kunci yang selama ini jarang di bahas tetapi lewat buku ini peran Maria Magdalena sangat menonjol. Di mana sebagai teologi feminis, Silvana melihat banyak teolog patrialki  bersikap tidak adil pada Maria Magdalena. Hal ini didasari dari lensa yang lebih mengutamakan pattiaki, karena semata melihat tidak setuju pada perempuan yang lebih kuat.

Lebih lanjut Silvana merasa, bahwa Maria Magdalena tak nakal nakal amat sedangkan banyak yang memandang bahwa Maria Magdalena nakal karena dari perspektif kaum laki laki. Kembali pada buku Injil Maria Magdalena ini Silvana memuji bahwa penulis berhasil dalam upayanya  mentriger berpikir kritis  untuk menafsirkan Injil.  Gagasan Maria Magdelena sebagai tokoh central yang menjadi perdebatan lewat buku  dan sangat beruntung buku ini mengangkat peran Maria Magdelena. 

Sementara pendeta Gomar Gultom yang diberi kesempatan menanggapi buku ini mengingatkan akan The Gospel of Mary, sebuah injil gnostik, yang merupakan terjemahan Yunani dari abad ke-3. Isinya perdebatan para murid paska kebangkitan Yesus.
Isi The Gospel of Mary ini mengungkapkan gagasan Maria untuk pemberitaan, sebagaimana juga nampak dalam semangat Maria di akhir novel Padmono ini. Yang membedakan adalah, The Gospel of Mary itu sangat khas gnostik. 

The Gospel of Maria ini sejak awal berisikan pertentangan di kalangan para murid, terutama pertentangan antara Andreas dan Petrus berhadapan dengan Maria. Andreas mengatakan, “Ajaran-ajaran ini berasal dari pemikiran yang berbeda, sangat gnostik dan esoteric”, sementara Petrus mengatakan, “Apakah mungkin Yesus berbicara secara rahasia kepada perempuan (Maria) dan bukan kepada kita? 
Pertentangan Maria dengan Petrus juga muncul dalam Injil Tomas, dan Injil Koptik Mesir; mencerminkan sejumlah ketegangan dalam kekristenan abad kedua. Petrus dan Anderas mewakili posisi ortodoks untuk menyangkali keabsahan pernyataan esoterik sekaligus menolak otoriras perempuan dalam gereja.

Saya melihat hal-hal yang demikian itu juga muncul dalam novel ini. Sesungguhnya tidak ada yang baru dalam novel ini. 
Novel ini memang mengisahkan pergumulan batin Maria Magdalena, kekaguman dan kecintaannya pada Yesus, sebagai seorang lelaki tampan, sesuatu yang tidak ada dalam keempat Injil. Tetapi, sekali lagi bukan hal baru. 

Dengan sangat halus dan apik hal ini pernah muncul dalam drama Broadway yang ditulis oleh Tim Rice (Bersama Andrew Llyod Webber untuk musiknya) pada 1970, di bawah judul Jesus Christ Superstar. Pada 1973 difilmkan oleh Norman Jewison sebagai sutradara dan sempat dilarang beredar di Indonesia. 
Tentang percintaan Jesus dengan Maria Magdalena muncul lebih dahsyat lagi dalam novel The Last Temptation of Christ  karya Nikos Kazantzakis dan oleh Martin Scorsese difilmkan (1988). Tetapi tentang Percintaan dan hingga Yesus berkeluarga dan memiliki anak bersama Maria Mahdalena dalam karya ini hanyalah godaan yang muncul dalam  kayalan Yesus, saat menderita di kayu salib, yang oleh para ahli disebut merupakan Temporal Lobes Epilepsy (TLE).
Dalam pemaparannya, Padmono juga tidak seberani Dan Brown, dalam Da Vinci Code. Padmono hanya menggambarkan nafsu membara Maria Magdalena, tetapi dengan halus ditepis oleh Yesus, meski Yesus juga nyaris merasakan hal sama.

Novel ini karya seorang jurnalis tetapi ini bukan laporan jurnalistik tetapi sebuah refleksi, lebih merupakan hasil sebuah pergulatan dan kesaksian iman. Ini sebuah novel, artinya sebuah fiksi. Tetapi memang bukan sepenuhnya cerita fiktif, dia berdasar pada ceritera Alkitab. 
Sebagai sebuah novel, plotnya sangat lemah. Lebih merupakan resensi Injil. Dan terlalu banyak berkotbah.Dia tidak bisa berdiri sendiri, tanpa kita memahami isi Injil dalam Alkitab. Jadinya lebih merupakan resensi. Dan resensi yang dilakukan, penuh imajinasi dan tafsiran inkonvensional. Sesuatu yang sah-sah saja. Tetapi apakah  ini melalui sebuah studi dan penelitian yang intens, saya tidak berani menilai. 
Kalau mau tuturan imajinatif yang melalui proses studi mendalam, ada buku yang sangat menarik, yang ditulis oleh seorang maha guru Universitas Heidelberg, Gerd Theissen, dan telah diterjemahkan di bawah judul “Yesus Resiko Keamanan” diterbitkan oleh Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik pada 1989.

Gomar memberikan tiga catatatan atas novel ini : 

pertama,  bersyukur untuk penuturan penulis  yang sejak awal mengangkat budaya partiark dan sangat banyak mewarnai penulisan novel ini. 

Kedua, menarik sekali Padmono mengangkat berbagai konflik internal para murid. Pertentangan yang muncul, pastilah tafsiran imajinatif penulis, karena tidak ada dalam keempat Injil Perjanjian Baru. Kesan yang dimunculkan adalah semua murid, tanpa terkecuali, semua punya kepentingan. Semua murid punya agenda. No free lunch. Apakah demikian juga para pelayan dan pemimpin gereja saat ini? Allahualam. 

Ketiga, dewasa ini sering sekali muncul adagium, “Jesus is the answer”. Itu benar. Tapi novel ini juga seakan hendak mengatakan, Yesus juga mempertanyakan segala hal (maaf, ini tafsiran saya saja). Hal ini dalam novel ini membawa kebingungan. Berkali-kali hal ini muncul, ketidak mengertian para murid, bahkan dalam diri Yesus sendiri, yang masih terus mempertanyakan maksud kehadiranNya. 

Dalam acara bedah buku sebelumnya Robert Sitorus sekretaris umum YKI in I memberikan kata pengatarnya terkait buku Injil Magdelana ini dan Robert menyambut baik bedah buku tersebut sebagai memperkaya pemahaman imannya kepada Yesus Kristus.
“Biarlah dengan digelarnya bedah buku ini akan memberikan kekayaan iman yang menguatkan kehidupan sehari-hari,” ujar Robert.

Sedangkan Yusuf Mujiono Ketua Umum Pewarna dalam sambutannya mengajak agar diskusi tentang buku bisa diselenggarakan secara rutin bentuk bagaimana membangun literasi kepada masyarakat dan generasi selanjutnya.(Pewarna Id)